Shalat Tahiyatul Masjid

Shalat Tahiyatul Masjid adalah shalat untuk menghormati masjid. Sebagi tempat suci, masjid patut dihormati oleh Muslim yang akan melakuakn aktivitas ibadah di tempat itu, hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh rasulullah:

Dari Abu Qatadah Al-Harits bin Rab’y Al-Anshary Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat.”

A. Apakah Boleh Shalat Sunat Ketika Khutbah Berlangsung?

Ada dua pendapat menanggapi masalah ini:

1. Tetap mendirikan salat Tahiyyatul Masjid, namun hendaknya dilakukan secara ringkas saja. cukup 2 rakaat saja, jangan diperpanjang. Pendapat ini diikuti oleh penganut madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah,

Diriwayatkan dari Abi Sa’id ra:

“Ada seseorang masuk masjid pada hari Jum’at, dan Rasulullah saw. sedang khutbah di atas mimbar. Lantas Rasul memerintahkannya untuk melakukan salat dua rekaat.”

2. Tahiyyatul Masjid dianggap sudah gugur begitu khutbah dimulai. Pendapat ini diikuti oleh penganut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar:

“Jika salah satu di antara kalian masuk masjid, sementara imam telah di atas minbar (khutbah) maka jangan lagi shalat dan bercakap-cakap”.

B. Tata Cata Pelaksanaan Shalat Tahiyatul Masjid

Niatnya:

Ushallii sunnata tahiyyatal masjidi rak’ataini lillaahi ta’aalaa.
Artinya: “Aku niat shalat sunah tahiyatal masjid dua rakaat karena Allah.

7 comments on “Shalat Tahiyatul Masjid

  1. mohon saya untuk diberitahu tentang 17 jalur sanad tentang hadits tahiyatul masjid. terimakasih banyak

  2. Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

    “Jika salah seorang kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum mengerjakan shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Begitu juga Jabir radhiyallahu ‘anhu, saat ia datang ke masjid untuk mengambil harga untanya yang dijualnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau memerintahkannya untuk shalat dua rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Ibnu Hibban dalam Shahihnya, dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia pernah masuk masjid, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya padanya, “Apakah kamu sudah shalat dua rakaat?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Bangunlah, laksanakan dua rakaat!”

    Maka berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, seluruh ulama sepakat tentang disyariatkannya shalat tahiyatul masjid (Fathul Baari: 2/407). Bahkan sebagiannya -khususnya dari madzhab Dzahiriyah- berpendapat wajib dengan berpatokan pada dzahir hadits. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sunnah, berdasarkan beberapa hadits lain yang memalingkannya kepada anjuran. Di antaranya, hadits tentang shalat lima waktu, maka ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah aku punya kewajiban selainnya?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali bila engkau mengerjakan yang sunnah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Pengarang Shahih Fiqih Sunnah menguatkan pendapat jumhur dengan menyebutkan hadits Waqid al-Laitsi, “Bahwasanya tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamshallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang satunya pergi. Kemudian keduanya berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun salah seorang dari keduanya melihat celah di majlis itu, maka ia duduk di tempat yang kosong itu. Sedangkan yang lainnya duduk di belakang mereka. Adapun yang ketiga langsung pergi. sedang duduk di dalam masjid bersama jama’ah, tiba-tiba datanglah tiga orang. Dua orang mendatangi Rasulullah

    Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai dari majlisnya, beliau bersabda: “Maukah aku kabarkan tentang tiga orang tadi? Adapun seorang dari mereka, ia datang menemui Allah maka Allah datang menemuinya. Adapun yang seorang tadi, ia malu maka Allah malu kepadanya. Adapun yang seorang lagi, ia berpaling maka Allah berpaling darinya”.” (Al-Bukhari)

    Melaksanakan tahiyatul masjid merupakan bentuk pemuliaan terhadap masjid sebagai baitullah (rumah Allah). Kedudukannya seperti mengucapkan salam saat memasuki masjid atau seperti mengucapkan salam saat bertemu saudara seiman.

    Imam Nawawi rahimahullaah berkata, “Sebagian mereka (ulama) mengungkapkannya dengan Tahiyyah Rabbil Masjid (menghormati Rabb -Tuhan yang disembah dalam- masjid), karena maksud dari shalat tersebut sebagai kegiatan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, bukan kepada masjidnya, karena orang yang memasuki rumah raja, ia akan menghormat kepada raja bukan kepada rumahnya.” (Lihat: Hasyiyah Ibnu Qasim: 2/252)

    Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil dalam kitabnya Asyratus Sa’ah menyebutkan bahwa salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah munculnya sikap meremehkan sunnah-sunnah yang dianjurkan Islam dan Syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Salah satunya adalah tidak melaksanakan tahiyatul masjid saat memasukinya, sebagaimana yang disinyalir dalam sebuah hadits, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku Mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَمُرَّ الرَّجُلُ فِي الْمَسْجِدِ لَا يُصَلِّي فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ

    “Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah seseorang melalui (masuk) masjid, namun tidak melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Syaikh Al-Albani memasukkan hadits ini dalam Silsilah al-Ahadits al Shahihah: 2/253 no. 649 dengan memberikan catatan kaki di bawahnya bahwa dalam sanadnya ada yang dhaif, tapi ia memiliki jalur lain dari Ibnu Mas’ud yang memperkuat sanadnya).

    Dan dalam riwayat lain disebutkan;

    أَنْ يَجْتَازَ الرَّجُلُ بِالْمَسْجِدِ فَلَا يُصَلِّي فِيْهِ

    “Orang melalui masjid tapi tidak melakukan shalat di dalamnya.” (HR. Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid: 7/329)

    Dan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

    إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ تُتَّخَذَ المَسَاجِدُ طُرُقًا

    “Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah masjid dijadikan sebagai jalan (tempat berlalu lalang).” (HR. Musnad al-Thayalisi dan Al-Mustadrak al-Hakim. Syaikh Al-Albani menghasankan redaksi serupa dalam Shahih Al-Jami’ no. 5899)

    Bahkan secara jelas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjadikan masjid sebagai tempat lalu lalang tanpa ditegakkan shalat tahiyatul masjid ketika memasukinya.

    لَا تَتَّخِذُوا المَسَاجِدَ طُرُقًا ، إِلَّا لِذِكْرٍ أَوْ صَلَاةٍ

    “Janganlah kalian jadikan masjid sebagai jalan (tempat lewat), kecuali untuk berdzikir atau shalat.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir: 12/314 dan al-Ausath: 1/14. Syaikh Al-Albani rahimahullaah mengatakan, “Sanad ini hasan, seluruh rijalnya (perawinya) tsiqat (terpercaya).” Lihat: Silsilah Shahihah no. 1001)

    Sedangkan maksud menjadikan masjid sebagai jalan adalah dengan menjadikannya sebagai tempat lewat atau berlalunya manusia untuk memenuhi hajat mereka. Masuk dari satu pintu masjid dan keluar dari pintu lainnya tanpa melaksanakan shalat di dalamnya. Sedangkan orang yang masuk masjid dan shalat di dalamnya tidak dikategorikan sebagai orang yang menjadikan masjid sebagai tempat lalu lalang yang dilarang.

    Al-Hasan al-Bashri ternah ditanya, “Tidakkah Anda benci kalau ada seseorang lewat di dalam masjid lalu tidak shalat di dalamnya? Beliau menjawab, “Pasti (saya benci).” (Lihat al-Mushannaf milik Abdul Razaq: 3/154-158)

    Orang yang sengaja meninggalkan tahiyatul masjid saat memasukinya tanpa ada udzur telah melakukan tindakan yang tidak sesuai sunnah dan tidak mengagungkan syi’ar Allah (segala sesuatu yang dijadikan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah). Padahal yang demikian itu merupakan tanda iman dan takwa sebagaimana firman Allah Ta’ala,

    وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

    “Dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)

    Kalau begitu tradisi dan budaya yang sedang menggejala di tengah-tengah umat, menjadikan masjid sebagai tempat melangsungkan akad nikah dan resepsi tanpa menghormati dan menjaga adab-adab masjid termasuk bagian yang dilarang. Para hadirin masuk tanpa melakukan tahiyatul masjid, membiarkan maksiat di dalamnya berupa ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam masjid), wanita yang berdandan ala jahiliyah, nyanyian-nyanyian dan sebagainya.

    Dan bencana yang lebih besar lagi adalah dijadikannya masjid sebagai tempat rekreasi dan bersenang-senang bagi orang-orang kafir setelah sebelumnya menjadi tempat untuk berdzikir dan beribadah sebagaimana kebanyakan masjid yang berada di Negara-negara yang berada di bawah kekuasaan kafir.

  3. assalamualaikum,wr,wb.
    afwan qoblah…….!!!
    ni barusan rapat…, eh gak taunya rame gak selesai masalah malah runyam terkait jalan-nya khotib yang mau naik mimbar,” Berawal dari seorang khotib yang tidak langsung naik mimbar ketika Muraqqi membaca sholawat, dan Khotib menunggu sampai Do’a selesai dibaca oleh Muraqqi- baru kemudian Khotib naik mimbar ”
    “Kata para jama’ah… ” eh ini khotib kok gak sama dengan Khotib yang sebelum- sebelumnya!!! wah jadi rame pokonya.
    — dari sini Tolong kasih sebuah petunjuk, mana yang lebih benar??…., padahal itu gak termasuk dalam rukun khutbah… terkait jalannya khotib.., mohon jawaban…!!!
    aquulu qoblakum” jazaakumu-Allahhu- Khoran kastira…
    wassalamualaikum, wr,wb

  4. assalamualaikum,wr.wb
    sampai skarang kami jama’ah menuggu sebuahawaban jawaban!!
    mohon secepatnya!!!
    syukran dan maa’f telah mengganggu. syukran ya… Ustad!!!
    Wassalam!!!

Tinggalkan komentar